[ARTIKEL] PELAUT: Pertahankan Mata Pencaharian Kami, Tegakkan Hak Kami!
Tantangan terkini bagi pelaut dan nelayan di dunia yang sedang dalam konflik
Forum Kelompok Kerja Pelaut IMA
14/15 Desember 2024
Artikel Ringkasan
Sebagai bagian dari “9 Hari Aksi Migran dan Pengungsi” IMA pada 10-18 Desember 2024, IMA Chapter AS bersama dengan para penyelenggara lainnya dari International Seafarers Action Center (ISAC), Pacific Coast Coalition for Seafarers (PCCS), Concerned Seafarers of the Philippines (CSP), dan Migrante International mengadakan forum online global dengan tema, “Tantangan terkini bagi pelaut dan nelayan di dunia yang sedang dalam konflik” dengan tema ‘PELAUT: Pertahankan Mata Pencaharian Kami, Tegakkan Hak Kami!’. Diperkirakan sekitar 2.000 pelaut meninggal di laut setiap tahun, tanpa ada akuntabilitas atau penyelidikan menyeluruh atas kematian ini oleh pemerintah atau pemberi kerja. Forum ini bertujuan untuk menyoroti masalah spesifik yang dihadapi oleh pelaut dan nelayan, serta untuk mempromosikan kampanye mereka yang berkelanjutan untuk hak dan keadilan. Forum ini dihadiri oleh lebih dari 20 peserta dan disiarkan langsung kepada lebih dari 500 penonton dari Indonesia, Filipina, Hong Kong, Taiwan, AS, dan berbagai bagian dunia lainnya.
Pengacara Edwin Dela Cruz (ISAC):
Pengacara Dela Cruz menyoroti memburuknya kondisi eksploitasi yang telah terjadi dan tidak manusiawi bagi pelaut di tengah intensifikasi konflik geopolitik. Genosida AS-Israel di Palestina dan pemboman mereka terhadap wilayah sekitar membahayakan pelaut yang melintas melalui Laut Merah dan Terusan Suez. Kapal-kapal dipaksa untuk mengubah rute, yang juga mengancam keselamatan pelaut, meningkatkan risiko perompakan, dan merusak kesejahteraan mental dan fisik pelaut. Selain bahaya yang meningkat akibat perang dan konflik, pelaut terus menderita kondisi kerja yang berbahaya, kekurangan makanan dan air, jam kerja yang panjang, dan upah yang sangat rendah. Kondisi-kondisi ini terus berlanjut karena kebijakan neoliberalis dari negara-negara yang menjual ‘bendera kemudahan/ flag of covenience’ (FOC) kepada perusahaan pelayaran, memungkinkan pemerintah untuk memperoleh keuntungan dari perusahaan-perusahaan ini dengan imbalan regulasi yang longgar, pajak rendah, dan biaya tenaga kerja murah. Pengacara Dela Cruz menekankan pentingnya membentuk serikat pekerja akar rumput, dan menghubungkannya dengan organisasi lain yang memperjuangkan hak pelaut. Kampanye ISAC saat ini adalah untuk:
Regularisasi dan jaminan masa kerja bagi pelaut;
Inklusi nelayan sebagai pelaut;
Penerapan ILO MLC 2006 oleh negara Bendera/ Flag States, negara Pelabuhan/ Port States, dan negara Penyedia Tenaga Kerja; dan
Penghapusan Program Ekspor Tenaga Kerja di Filipina.
Insinyur Xavier Bayoneta (CSP):
Bayoneta berbagi kekhawatiran organisasinya terkait keselamatan sesama pelaut yang melintasi Laut Merah. Serangan Israel telah menewaskan tiga anggota kru pada bulan Maret dan satu orang lagi pada bulan Juni tahun ini. Sebanyak 17 anggota kru disandera di Yaman, dan 25 lainnya disandera di Iran. Perusahaan pelayaran memiliki kewajiban untuk bertindak ketika nyawa pelaut terancam, tetapi mereka terus mempertaruhkan nyawa pelaut tanpa mengindahkan kesehatan dan keselamatan mereka. Kondisi-kondisi ini terus berlanjut karena kebijakan neoliberalis dari negara-negara penyedia tenaga kerja seperti Filipina, yang menjual tenaga kerja pelaut terampil dan nelayan sebagai komoditas ekspor. CSP baru-baru ini meluncurkan kampanye menentang Undang-Undang Republik 12021, Magna Carta untuk Pelaut Filipina yang dirilis oleh pemerintah Marcos tahun ini. Undang-undang ini hanya menguntungkan perusahaan dan agen yang mengeksploitasi pekerja, dan semakin memperburuk penyalahgunaan dalam perekrutan dan pekerjaan maritim. CSP dengan tegas percaya bahwa melalui aksi bersatu, pendidikan sosial, dan organisasi akar rumput di seluruh dunia, semua pelaut dan nelayan dapat menghentikan eksploitasi mereka dan mencari keadilan.
Emma Martinez (PCCS):
Martinez membagikan dua kampanye yang sedang berjalan yang diangkat oleh pelaut di AS. Kampanye pertama adalah ‘Justice for AJ/ Keadilan untuk AJ’, yang mengekspos perlakuan tidak manusiawi dan ketidakpedulian yang jelas terhadap pelaut dan keluarga mereka oleh perusahaan pelayaran dan badan pemerintah. AJ Kent Maraña adalah seorang pelaut Filipina berusia 29 tahun yang bekerja untuk JJ Ugland, sebuah perusahaan pelayaran Norwegia. Pada 13 September 2024, tubuhnya ditemukan di Sungai Columbia dekat Cathlamet, Washington. Keluarganya baru menerima jenazahnya 46 hari kemudian, dan hingga kini mereka belum menerima kompensasi apapun dari perusahaan. PCCS menuntut agar pemerintah Filipina menyelidiki kematiannya dan memastikan keadilan, akuntabilitas, dan kompensasi yang layak dipenuhi. Organisasi seperti Bayan Oregon telah mengadakan misa/ ibadah dan membantu melanjutkan kampanye Justice for AJ.
Kampanye kedua adalah ‘Justice for the United 6/ Keadilan untuk United 6’, yang dipimpin oleh nelayan Filipina yang diperdagangkan secara ilegal dan mengalami pencurian upah, perbudakan utang, dan pembongkaran kapal oleh pemberi kerja mereka, Pescadores International (Filipina) dan McAdams Fish (AS). Enam nelayan tersebut saat ini sedang berjuang melawan praktik ilegal perusahaan ini dan menekan pemerintah Filipina untuk memberikan dukungan yang memadai bagi nelayan yang diperdagangkan. Nelayan-nelayan ini menuntut kompensasi yang layak dan gaji yang tertunggak bagi para korban, serta langkah-langkah pencegahan agar hal ini tidak terus terjadi.
Muhamad Kafandi (PSP Indonesia):
Kafandi memulai presentasinya dengan menjelaskan kegiatan yang dilakukan oleh PSP Indonesia. PSP Indonesia adalah organisasi lokal yang bekerja untuk melindungi hak-hak anggota kru migran Indonesia di kapal berbendera Asia. Saat ini, upaya mereka meliputi pertama, menyoroti kondisi rentan anggota kru yang sering terisolasi dari informasi, jauh dari agen manning, menghadapi peraturan yang tumpang tindih di Indonesia, dan memiliki kompetensi yang lemah. Fokus kedua adalah apa yang perlu dilakukan, termasuk mengintegrasikan layanan anggota kru, meminimalkan biaya peningkatan kompetensi, mengkategorikan dan menandai kapal yang telah melanggar hak kru, dan menyebarkan informasi tentang peraturan dari kedua negara penerima dan negara pengirim. Kafandi juga menjelaskan bahwa banyak anggota kru yang mengalami kekerasan fisik dan verbal selama bekerja. Hal ini memotivasi PSP Indonesia untuk memperjuangkan hak-hak mereka dan menerbitkan buku saku panduan untuk anggota kru agar mereka dapat memahami hak-hak mereka. Anggota kru juga bekerja sama dengan organisasi lain untuk membantu rekan-rekan mereka di lapangan. PSP Indonesia berharap:
Tindakan hukum yang tegas terhadap agen manning yang melakukan pelanggaran, seperti perdagangan manusia;
Peningkatan sistem transparansi; dan
Pengembangan mata pencaharian alternatif bagi pelaut.
Achmad Mudzakir (FOSPI):
Mudzakir menyebutkan bahwa FOSPI didirikan pada tahun 2007, diinisiasi oleh pelaut Indonesia yang ditempatkan di Taiwan. FOSPI memiliki sekitar 2.000 anggota dan telah terlibat dalam rapat/ pertemuan pemerintah ketika regulasi sedang diputuskan. Isu yang dihadapi anggota FOSPI termasuk hak gaji, deportasi paksa, jam kerja yang panjang, dan banyak lagi. Pelaut jarak jauh sering kali kekurangan akses komunikasi dengan keluarga mereka dan tidak menerima perawatan medis yang memadai jika terjadi kecelakaan kerja. Banyak dari mereka dideportasi secara paksa selama pandemi, dan menghadapi pemutusan hubungan kerja secara sepihak oleh pemberi kerja. Oleh karena itu, FOSPI memberikan advokasi dan dukungan bagi anggota, membantu mereka dalam mediasi dengan agen dan pemberi kerja, serta mendidik mereka tentang hak-hak gaji mereka.
Terkait kampanye, Achmad menyebutkan bahwa bersama dengan organisasi lain dari Taiwan dan Inggris, FOSPI membentuk koalisi untuk mengkampanyekan penyediaan Wi-Fi di kapal. Ini bertujuan untuk memastikan pelaut dapat tetap berkomunikasi dengan keluarga, agen, dan pemberi kerja mereka saat berada di laut, sehingga dapat meminimalkan pelanggaran di kapal. FOSPI berdiri bersama pelaut untuk memperjuangkan hak dan kesejahteraan mereka. Achmad mengungkapkan bahwa FOSPI terlibat dalam diskusi mengenai peningkatan gaji pelaut bersama dengan beberapa LSM Taiwan, di mana gaji akan disesuaikan dengan ILO C188. Namun, hingga akhir tahun ini, belum ada kabar baik, dan standar gaji pelaut tetap di angka USD 550.
Ini adalah forum online pertama yang diselenggarakan oleh Kelompok Kerja Pelaut IMA. Anggota Komite Eksekutif IMA, Terry Valen, menutup sesi dengan seruan agar pelaut dan nelayan membentuk organisasi dan serikat pekerja akar rumput dan bergabung dengan Kelompok Kerja Pelaut IMA untuk memperkuat suara mereka melalui kampanye yang bersatu. Organisasi pendukung juga didorong untuk menunjukkan solidaritas mereka dengan bergabung dan mempromosikan kampanye serta aksi-aksi Kelompok Kerja Pelaut IMA.