Kertas Posisi Aliansi Migran Internasional (IMA) Terkait Pandemi Covid-19 dan Tuntutan Perlindungan Terhadap Para Migran, Pengungsi dan Orang-Orang Tergusur Aliansi Migran Internasional

Krisis sering akan menguak dan memperburuk masalah sosial dan ekonomi yang sudah ada sebelumnya. Pernyataan tersebut telah berulangkali disampaikan oleh para ahli, komentar dan pengamat pada akhir-akhir ini, khususnya di era krisis kesehatan dan ekonomi yang dipicu oleh pandemi Covid-19.

Begitupun pula, situasi yang dialami para migran, pengungsi, imigran, dan orang-orang tergusur di dunia juga tidak dapat dibantah dalam hal ini.

Sebelum pandemi Covid-19, para migran diberi upah dan tunjangan yang rendah, tidak diberi status reguler (legal) dan hak-hak berserikat, di tengah mereka harus melakukan pekerjaan yang seringkali disebut kotor, berbahaya, dan penuh dengan tuntutan. Selain menghadapi masalah ketidakamanan kerja, para migran juga sering tidak dimasukkan ke dalam perlindungan sosial.

Pada saat yang bersamaan, para migran selalu mengalami perlakuan yang rasis dan xenophobia di tempat kerja dan tempat tinggal. Beberapa politisi dan berbagai kelompok ultranasionalis menggambarkan para migran sebagai pencuri pekerjaan dan layanan, hal itu dianggap merupakan “hak penduduk asli” dari negara penerima.

Migran disalahkan atas masalah pengangguran dan privatisasi layanan sosial, yang sesungguhnya adalah imbas dari kebijakan neoliberal yang diterapkan oleh para elit yang sama, yang mengkambing hitamkan para migran.
Para migran dipaksa untuk menanggung sistem dari bentuk perbudakan modern dan diperlakukan sebagai barang dagangan oleh negara-negara asal mereka dalam kerangka migrasi paksa. Mereka terpaksa meninggalkan tanah air mereka karena tidak tersedianya lapangan kerja, minimnya layanan sosial, dan maka dari itu terjadi kemiskinan dan kelaparan, serta berbagai bentuk kekerasan oleh negara.

Situasi pandemi Covid-19, krisis kesehatan dan krisis ekonomi semakin memperburuk keadaan para migran yang sudah buruk di dunia. Di satu sisi, banyak pekerja migran yang tiba-tiba berada di garda terdepan medis dan ekonomi serta harus menghadapi imbas besar terhadap kesehatan dan kehidupan mereka.

Di sisi lain, banyak migran yang telah mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) atau kemungkinan akan kehilangan pekerjaan mereka. Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) memperkirakan pada akhir April hampir setengah dari tenaga kerja dunia, termasuk migran, menghadapi risiko kehilangan mata pencaharian [1]. Namun, masih banyak migran lain yang menghadapi pemotongan upah melalui berbagai skema. Di tengah perjuangan untuk bertahan hidup di negara-negara penerima, saat ini para migran tidak memiliki pendapatan ekonomi untuk bisa dikirim ke keluarga mereka yang sedang kelaparan di negara-negara asal.

Akibatnya, pengiriman uang diperkirakan akan turun sebesar 20 persen yang merupakan angka tertinggi dalam sejarah. Bahkan Bank Dunia mengakui bahwa pekerja migran cenderung lebih rentan terhadap ancaman kehilangan pekerjaan dan upah selama krisis ekonomi di negara penerima [2].

Pandemi ini juga memperparah rasisme dan xenofobia terhadap para migran, terutama yang berasal dari Asia dan keturunan Afro di negara-negara non-Asia. Para migran lain juga menderita karena krisis telah menyebabkan diskriminasi yang lebih buruk di bidang pekerjaan, upah dan layanan.

Berangkat dari konteks ini dan berdasarkan situasi kami di tengah pandemi Covid-19, maka kami sebagai migran, pengungsi, imigran dan orang-orang tergusur di dunia dan kelompok pendukung mengajukan tuntutan sebagai berikut:

[1]
Negara kami harus keluar dari jeratan ekonomi yang bergantung pada pengiriman uang dan mengupayakan jalan pembangunan yang mandiri, mengabdi pada rakyat dan berkelanjutan. Berikan bantuan dari pemerintah kepada para migran yang kembali ke negara asalnya.

Akibat dari kebijakan pembatasan di perbatasan wilayah yang diterapkan sebagai cara untuk mengatasi pandemi, banyak pekerja migran yang tidak dapat melakukan perjalanan pulang ke kampung halaman mereka. Dari orang-orang Afrika Timur yang melintasi Teluk Aden untuk bekerja di Negara-negara Teluk hingga para pekerja migran musiman dari Eropa Timur yang bekerja di pertanian di Eropa Barat, dari orang-orang Venezuela yang bekerja di Kolombia dan di negara-negara lain di Amerika Selatan hingga orang-orang Afghanistan yang pergi ke Iran dan Pakistan, dari orang-orang Haiti yang pergi ke Republik Dominika dan negara-negara lain di Amerika Latin hingga orang-orang Mesoamerika yang pergi ke Amerika Serikat jumlahnya terus berkurang [3].

Banyak negara telah menangguhkan migrasi tenaga kerja. Banyak para analisis dan pengamat memprediksikan bahwa di tengah pandemi yang terus meluas dan bahkan paska pandemi sekalipun, banyak negara yang akan memberlakukan pembatasan lebih ketat di perbatasan-perbatasan wilayah mereka, utamanya karena didorong oleh munculnya sentimen ultra-nasionalis.

Akibat dari PHK, pemotongan upah dan bahkan cuti tak digaji, banyak migran yang tidak dapat mengirim uang ke keluarga mereka di kampung halaman.

Lebih lanjut, fenomena tersebut yang ditimbulkan oleh adanya pandemi Covid-19 menunjukkan bahwa negara-negara tidak dapat mengandalkan migrasi tenaga kerja dan pengiriman uang dolar untuk mengejar pembangunan yang sejati dan berkelanjutan. Negara-negara harus melepaskan diri dari jeratan ekonomi yang bergantung pada tenaga kerja migran dan harus mencari dan mengembangkan berbagai sumber pembangunan di dalam negeri.

Dengan berakhirnya masa kontrak atau hilangnya pekerjaan, banyak pekerja migran memutuskan untuk pulang ke negara asal. Negara harus menyediakan berbagai bentuk bantuan dan fasilitas bagi para migran yang pulang ke kampung.

Salah satu bentuknya adalah bantuan perjalanan biasanya untuk penerbangan ke kampung halaman. Contohnya banyak negara pengekspor tenaga kerja yang membantu kepulangan para pekerja migrannya yang berada di negara-negara Timur Tengah atau Gulf Cooperation Council (GCC), maka negara-negara lain perlu mengikuti langkah tersebut karena banyak pekerja migran yang terdampar di benua-benua lain [4].

Sementara itu, para migran yang kembali dari luar negeri harus ditempatkan di fasilitas-fasilitas karantina yang menjamin dalam hal kesehatan, kebersihan, dan dapat menjalankan pembatasan jarak fisik (physical distancing). Hal ini merupakan tugas besar para pemerintah, mengingat jumlah migran yang pulang telah melampaui kapasitas karantina di berbagai negara [5].

Di Global Selatan (negara-negara ketiga), para migran didalam negeri (internal migrant) yang berasal dari orang-orang desa yang pergi ke kota untuk bekerja, juga harus menerima bentuk bantuan serupa. Sebanyak 23 juta migran dalam negeri di India tidak diberi bantuan transportasi kepulangan dan harus mengalami kepadatan karantina [6].

Pandemi Covid-19, krisis dan masalah yang timbul, serta kemungkinan ada pandemi serupa di masa depan, telah memberikan pelajaran kepada negara-negara pengirim, terutama yang berada di Global Selatan (negara-negara ketiga), tentang jalan pembangunan ekonomi yang mereka harus tempuh.

Aktivitas penebangan hutan, industri agribisnis dan kegiatan ekonomi lainnya yang merusak hutan dan lingkungan kemungkinan akan mengakibatkan munculnya patogen seperti virus corona yang akan semakin sering menular dari hewan ke manusia. Maka dari itu, operasi bisnis perusahaan-perusahaan besar pada umumnya dari negara-negara kapitalis maju di berbagai sektor yang merusak ini harus dikurangi atau dihilangkan sepenuhnya.

Penutupan perbatasan membuat produksi "tepat waktu" dan rantai nilai serta rantai pasokan yang menghubungkan antar lokasi di berbagai negara, kemudian perdagangan internasional menjadi terganggu. Negara-negara perlu memproduksi lebih banyak barang kebutuhan dasar di dalam batas wilayah mereka sendiri.

Karena negara-negara kapitalis maju hanya memenuhi kebutuhan dalam negeri mereka dan tidak dapat memberikan bantuan pembiayaan kepada negara-negara lain untuk upaya skala besar yang diperlukan dalam rangka memerangi dan bertahan dari pandemi, maka negara-negara dari Global Selatan (ketiga) harus mampu menghasilkan lapangan kerja dan keuangan dari dalam negerinya dan menggunakan sumber daya mereka sendiri.

Negara-negara harus menyingkirkan kontrol dan dominasi ekonomi pihak asing. Kebutuhan rakyat harus didahulukan sebelum kebutuhan pasar internasional. Sumber daya manusia dan alam negara harus dimanfaatkan untuk kepentingan rakyatnya sendiri.

[2]
Memperbaiki kondisi hidup dan kerja para migran. Utamakan keselamatan di tempat kerja dan hak-hak migran atas perkerjaan yang layak dan bernilai.

Di negara-negara penerima, banyak migran ditempatkan di ruang-ruang sempit sehingga mustahil bisa menjaga jarak secara fisik. Para migran ditempatkan di dalam kamar sempit dengan kapasitas enam hingga dua belas orang di kamp-kamp tenaga kerja dengan kondisi sanitasi yang seringkali buruk. Kondisi ini sering terjadi di negara-negara Timur Tengah yang menjadi tujuan utama pekerja migran [7].

Banyak migran yang masih tetap tinggal di tempat-tempat buruk seperti itu bahkan ketika pemerintah dan bisnis korporasi mulai bersiap-siap untuk mengoperasionalkan kembali ekonomi dibawah seruan "Normal Baru," yang kemungkinan akan meningkatkan risiko penyebaran infeksi karena virus corona akan terbawa ke ruang-ruang tempat tinggal sempit yang tidak nyaman tersebut.

Pengalaman Singapura menjadi pelajaran berharga, negara kecil itu berhasil mengendalikan penyebaran virus sampai munculnya gelombang kedua pada awal bulan Mei. Pusat-pusat epidemi atau wabah berada di 43 asrama yang sempit tempat tinggal para “pekerja kerah biru” yaitu pekerja yang berada di posisi terendah di dalam perusahaan operator manual dan pembantu, mereka merupakan bagian dari 1,7 juta migran di kota tersebut [8]. Para migran tidak bisa diabaikan dalam upaya negara untuk menjaga keamanan diri dari Covid-19. Tempat tinggal mereka harus diperbaiki sebagai cara menjaga jarak fisik dan kebersihan sanitasi.

Keselamatan di tempat kerja merupakan hal yang paling penting karena sebagian besar negara sudah mulai melonggarkan pembatasan-pembatasan gerak dan berusaha mengoperasionalkan kembali ekonomi.
Sudah banyak kasus dimana tempat kerja menjadi tempat penyebaran virus corona dan para ahli telah memperingatkan bahwa tempat kerja dapat menyebabkan munculnya wabah-wabah di masa yang akan datang [9].

Ada kebutuhan mendesak untuk tes massal, pelacakan kontak/orang, pemantauan kesehatan secara terus menerus, sanitasi, tindakan darurat dan tindakan lainnya di tempat kerja.

Pekerja, termasuk migran harus dilibatkan secara aktif dalam memastikan kesehatan dan keselamatan tempat kerja dan bisa membentuk komite untuk tujuan tersebut.

Pandemi dan krisis yang menyertainya, membuat pemenuhan hak para migran atas pekerjaan layak menjadi sangat penting seperti hak untuk hidup, upah layak, jaminan kerja, bukan fleksibilitas tenaga kerja, hak-hak serikat pekerja, bukan ancaman PHK, tindakan ancaman, dan teror sebagai upaya untuk membekukan atau menurunkan upah.

Hal ini menjadikan penerapan berbagai instrumen hukum internasional yang telah mengatur hak-hak pekerja migran, mulai dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia hingga Konvensi ILO tentang Pekerjaan Layak untuk Pekerja Rumah Tangga (C189) menjadi penting dan perlu.

Situasi saat ini sangat genting untuk segera disikapi oleh negara pengirim dan penerima dengan menandatangani protokol dan perjanjian yang bertujuan untuk menjunjung tinggi hak-hak para migran.

Meskipun saat ini sudah ada instrumen-instrumen hukum yang seharusnya menjamin perlindungan, akan tetapi hak-hak migran masih belum betul-betul ditegakkan. Hal ini disebabkan oleh penghisapan terhadap pekerja migran di bawah sistem kapitalisme yakni pengurangan biaya produksi dan perbaikan kualitas hidup warga negara di negara-negara penerima, dan exploitasi hasil kerja dan kiriman uang (remitensi) migran untuk pemenuhan kebutuhan hidup anggota keluarga migran di negara-negara asal.

Namun, para migran di berbagai belahan dunia masih terus memperjuangkan hak-hak mereka yang terus menerus diserang. Pekerja migran selalu menjadi sasaran atas perlakuan-perlakuan terburuk di tempat kerja, termasuk kekerasan fisik dan seksual, dan tidak sedikit pula yang pulang ke kampung halamannya di dalam peti mati.

Perhatian khusus harus diberikan kepada hak-hak Pekerja Rumah Tangga (PRT), sebagai bagian dari migran dengan jumlah yang signifikan di seluruh dunia. Banyak keluarga di negara-negara penempatan harus tinggal di rumah dengan waktu lebih lama sehingga berimbas ke tugas-tugas PRT migran yang turut bertambah. Akan tetapi, hak-hak PRT migran juga harus tetap dihormati baik oleh para majikan dan pemerintah dari negara-negara penerima.

[3]
Hentikan penangkapan terhadap migran dan pengusiran terhadap pengungsi,
hapus kendali militer atas perbatasan wilayah dan berikan izin masuk
bagi mereka yang terdampar.

Banyak pemerintah telah menyikapi situasi pandemi ini dengan cara menutup perbatasan dan memperketat aturan imigrasi. Namun bagaimanapun, musuh sesungguhnya adalah virus bukan pekerja migran. Pemerintah harus menegakkan hak-hak migran bahkan selama pandemi. Langkah-langkah pengetatan terhadap migran adalah tindakan yang tidak adil dan bahkan dapat berkontribusi terhadap penyebaran virus corona.

Migran yang ditampung di kamp-kamp di sepanjang perbatasan AS dan Eropa sangat rentan terhadap infeksi virus. Sudah banyak tuntutan atau desakan yaitu untuk segera mengevakuasi 42.000 pencari suaka yang tinggal di kamp-kamp dengan kondisi kekurangan pasokan air dan sabun di lima pulau di Yunani [10].

Banyak migran asal Guatemala yang dideportasi oleh pemerintah AS ditemukan terinfeksi Covid-19, dan mereka hanya diberi pemeriksaan suhu tubuh dan "penyaringan visual." Sementara itu, sebanyak 2.500 migran yang sebagian besar warga Haiti, tinggal di ruangan sempit di pusat-pusat migrasi pemerintah di Panama karena perbatasan wilayah AS dengan Kosta Rika ditutup [11].

Pada awal Mei, ribuan pencari suaka, termasuk ratusan Rohingya dari Myanmar, tidak dapat turun dari kapal di Teluk Bengal dan Laut Andaman karena pembatasan- pembatasan di perbatasan yang diterapkan oleh para pemerintah di Asia Tenggara [12]. Demikian pula, dalam kasus Amerika Latin, para migran dari Venezuela yang berusaha pulang ke negaranya harus berhadapan dengan gas air mata yang disemprotkan oleh pemerintah Kolombia.

Di beberapa negara di Eropa termasuk Belgia, Spanyol, Belanda dan Inggris, para migran di pusat-pusat penahanan imigrasi telah dibebaskan. Namun, Komisi Eropa untuk Hak Asasi Manusia masih harus menghimbau kepada negara-negara lain untuk mengambil tindakan yang sama [13].

Ada kebutuhan agar negara-negara khususnya penerima, untuk berhenti menahan para migran dan mengusir para pengungsi, serta menghilangkan kendali militer atas perbatasan wilayah mereka dan mengizinkan transit dan masuknya para migran yang terdampar akibat penutupan perbatasan.

Tindakan kriminalisasi dan sanksi terhadap para aktivis dan pembela HAM, migran dan hak-hak pengungsi harus segera diakhiri. Hentikan deportasi pelajar yang visanya terimbas oleh COVID-19. Tidak boleh ada penolakan visa dengan dalih infeksi. Perombakan komprehensif yang adil dan manusiawi bagi semua migran dan pengungsi yang tidak berdokumen harus ditetapkan.

[4]
Sertakan migran dalam program layanan, perlindungan, dan bantuan ekonomi dari pemerintah. Stigmatisasi, diskriminasi, rasisme, xenophobia, dan sentimen anti-imigran, beserta kekerasan dan serangan yang ditimbulkannya, harus segera dihapuskan.

Sistem kesehatan dan layanan dasar di negara-negara yang paling parah dilanda pandemi dan di sebagian besar negara maju bergantung pada pekerja migran. Hampir 30 persen dari tenaga kerja di sektor-sektor yang sangat terpengaruh di negara-negara OECD adalah orang asing [14].

Setidaknya 11 dari 15 negara yang paling terkena dampak pandemiyaitu Amerika Serikat, Spanyol, Italia, Jerman, Prancis, Inggris, Belgia, Belanda, Kanada, Swiss, dan Chili bergantung kepada pekerja migran dalam sistem layanan kesehatan [15]. Para migran juga berkontribusi terhadap 12 persen dari 1,9 juta tenaga kerja sistem kesehatan Inggris dan 17 persen dari 12,4 juta tenaga kerja sistem kesehatan AS [16].

Tidak terhitung jumlah migran yang tertular virus dan banyak yang meninggal ketika berjuang di garda depan medis. Pujian yang sudah layak diberikan kepada mereka yang berada di garis terdepan harus diwujudkan dengan menyediakan perlindungan nyata yang mereka butuhkan, bantuan medis bagi yang sakit dan bantuan uang bagi yang meninggal.

Langkah-langkah lain juga perlu diambil. Pemerintah Inggris misalnya, menghapuskan biaya tambahan visa bagi pekerja migran di sektor layanan kesehatan dan mengizinkan anggota keluarga dari pekerja layanan kesehatan yang meninggal karena Covid-19 untuk tetap tinggal di negara tersebut [17].

Sementara itu di Chili, pihak berwenang belum mau menerima penggabungan dokter asing yang belum melampirkan Ujian Pengetahuan Medis Nasional (Eunacom) sebagai persyaratan untuk praktik kedokteran di negara tersebut. Kebijakan ini ditempuh meskipun kenyataannya ujian tahun ini secara efektif dibatalkan karena masalah kesehatan. Akan tetapi, pihak berwenang tetap memberi modalitas lain bagi hampir 3.000 orang asing yang terdaftar dalam rangka memperkuat tenaga medis nasional [18].

Di saat banyak migran terancam kehilangan pekerjaan dan pendapatan, tidak sedikit para migran yang diabaikan dari program pemberian bantuan pemerintah bagi warga lokal di negara-negara penerima. Hal ini merupakan perlakuan diskriminatif dan membahayakan upaya untuk melawan pandemi, sebab tidak ada seorang pun yang aman dari infeksi virus corona termasuk migran. Para migran harus masuk sebagai pihak penerima berbagai bantuan ekonomi yang disediakan oleh pemerintah.

Misalnya di AS, banyak imigran terutama yang tidak berdokumen dan termasuk anggota keluarganya, bahkan mereka yang sudah memiliki kewarganegaraan AS dan merupakan penduduk tetap yang sah tidak termasuk sebagai penerima paket bantuan dan jaminan ekonomi dari pemerintahan Donald Trump. Sikap pengabaian ini menambah daftar panjang minimnya perlindungan kesehatan bagi para migran di AS [19].

Sebaliknya, pemerintah setempat di Jepang memberikan bantuan uang tidak hanya bagi warga negaranya, akan tetapi bagi semua orang yang telah tinggal di negara itu, setidaknya selama tiga bulan dan telah terdaftar sebagai penduduk [20]. Uni Emirat Arab juga menyediakan bantuan makanan bagi keluarga dan individu yang berpenghasilan rendah, termasuk pekerja migran [21].

Memasukkan migran sebagai penerima program bantuan pemerintah sama artinya dengan menghentikan penangkapan, penahanan, dan deportasi migran tidak berdokumen. Dengan kata lain, pemerintah di negara-negara penerima harus memberikan pengampunan dan memberlakukan regularisasi/legalisasi kepada para migran tanpa syarat sehingga mereka bisa mengakses layanan, perlindungan dan bantuan.

Sementara beberapa pemerintah negara pengirim juga memberikan bantuan uang kepada pekerja migran di negara penempatan, namun bantuan tersebut seringkali tidak mencukupi, bahkan untuk memenuhi kebutuhan mendesak para migran yang mengalami pengangguran dan pemotongan upah. Bantuan keuangan yang dimaksud dilakukan oleh negara-negara pengirim tenaga kerja terbesar seperti India, Pakistan dan Filipina kepada pekerja migran mereka yang berada di negara-negara di Timur Tengah [22].

Pengalaman banyak negara telah membuktikan bahwa mereka yang memiliki sistem layanan kesehatan publik yang kuat, tidak berorientasi pada pencarian keuntungan dan dikuasai oleh swasta, memiliki posisi yang lebih baik dalam melawan Covid-19. Pandemi menunjukkan kepada kita bahwa sistem layanan kesehatan publik harus segera ditingkatkan.

Namun, para migran masih menghadapi banyak kendala dalam mengakses layanan kesehatan antara lain kehilangan pekerjaan dan penghasilan, ketidakamanan dalam layanan kesehatan, visa jangka pendek, dan masalah-masalah yang disebabkan oleh status hukum mereka. Dalam situasi tersebut, para migran tak berdokumen harus berpikir dua kali untuk mendatangi fasilitas medis, bahkan ketika mereka sudah mengalami gejala infeksi.

Para ahli dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengakui adanya masalah diskriminasi dan pengabaian terhadap migran tidak berdokumen dalam sistem layanan kesehatan negara. "Para pengungsi dan migran harus terlindungi di dalam sistem kesehatan publik nasional, tanpa ada risiko keuangan atau hukum bagi mereka … Tidak ada sistem kesehatan masyarakat jika tidak mengkover para pengungsi dan migran” [23].

Banyak politisi dan berbagai kelompok di negara-negara kapitalis maju yang telah memanfaatkan pandemi virus corona untuk mempromosikan agenda supremasi kulit putih dan sikap ultranasionalis berdasarkan perbedaan warna kulit.

Salah satu contoh yang paling terkenal di antaranya adalah Donald Trump, yang menyebut virus corona sebagai "virus Cina," sementara Sekretaris Negara AS Mike Pompeo memberikan istilah "virus Wuhan." Partai-partai politik sayap kanan di Inggris, Italia, Spanyol, Yunani, Prancis, Jerman dan Brasil juga banyak menggunakan retorika serupa.

Pernyataan rasis seperti itu telah memicu tindakan kekerasan terhadap orang-orang keturunan Asia di negara-negara tersebut dan bahkan di Australia dan Rusia. Diskriminasi terhadap orang Asia juga dilaporkan terjadi di Kenya, Ethiopia dan Afrika Selatan, bahkan diskriminasi terhadap orang Cina juga dilaporkan di Korea Selatan, Jepang, dan Indonesia [24].

Para pemerintah tersebut mengambil keuntungan dari pandemi untuk memperdalam kebijakan pemerintahan yang rasis. Trump telah menerapkan kebijakan "Tetap di Meksiko" untuk mencegah penyebaran virus, membatasi permohonan izin suaka dari negara-negara Amerika Latin dari 20 persen menjadi 1 persen dan mendeportasi anak-anak. Kebijakan ini melanggar undang-undang dan peraturan sebelumnya [25].

Elit politik dan ekonomi, terutama di negara-negara maju, berusaha mengalihkan masalah struktural yang melekat pada sistem kapitalisme dan kebijakan ekonomi neoliberal yang mengakibatkan luasnya masalah pengangguran dan kemiskinan dengan menyalahkan para migran. Saat ini, mereka sedang mencoba untuk menyembunyikan akar penyebab pandemi yang sesungguhnya yakni perusakan lingkungan oleh kapitalisme itu sendiri, maka pengalihan ini harus ditentang.

Selama bertahun-tahun, kiriman uang pekerja migran di luar negeri telah berkontribusi signifikan bagi perekonomian negara-negara pengirim. Saat ini, ketika para migran kehilangan pekerjaan, penghasilan dan membutuhkan bantuan pemerintah untuk bisa bertahan hidup, maka pemerintah harus segera bertindak.

Keluarga pekerja migran, yang seolah-olah terlihat makmur di daerah asal, tidak boleh diabaikan dari program bantuan keuangan pemerintah. Pemerintah juga harus menangguhkan biaya penempatan baru yang diterapkan ke para pekerja migran, dan bahkan mengurangi biaya penempatan yang berlaku saat ini.

Di Filipina, keluarga pekerja migran tidak hanya terabaikan dari bantuan keuangan pemerintah, tetapi baru-baru ini pemerintah bahkan menerapkan biaya penempatan baru yang jumlahnya lebih besar dan lebih membebani para pekerja migran dan keluarga mereka [26]. Pemerintah juga harus memberikan bantuan mata pencaharian kepada para migran yang kembali ke daerah asal mereka sehingga mereka dapat memulai kehidupan baru.

[5]
Bubarkan Forum Global untuk Migrasi dan Pembangunan (GFMD), ubah kerangka migrasi untuk pengembangan Global Compact dalam Migrasi Aman, Teratur, dan Reguler (GCM).

Penutupan perbatasan wilayah dan PHK besar-besaran yang disebabkan oleh pandemi semakin menunjukkan bahwa migrasi tidak dapat menjadi strategi untuk pembangunan sejati dan jangka panjang bagi negara-negara pengirim.

Meskipun pandemi merugikan ekonomi di semua wilayah, namun imbas paling parah justru dirasakan oleh negara-negara pengirim tenaga kerja - yang sebagian besar berada di Global Selatan (negara-negara ketiga) yang dipaksa untuk menghadapi pemulangan para pekerja migran, peningkatan drastis jumlah pengangguran dan pengurangan kiriman uang dan cadangan dolar. Kenyataan ini menjadi bukti terbaru bahwa strategi migrasi untuk pembangunan telah gagal total.

Migrasi sebagai strategi pembangunan merupakan esensi GFMD dan mendasar bagi Global Compact for Migrants (GCM) yang mencerminkan tuntutan-tuntutan yang telah beberapa dekade diperjuangkan para migran.

Strategi GFMD berasal dari perspektif elit dan pemerintah negara pengirim dan penerima. Strategi ini memaksa para migran dan orang-orang yang dikirim untuk menerima migrasi paksa sebagai cara membantu pembangunan di negara-negara asal mereka. Strategi ini menjadikan kerja paksa yang tidak manusiawi seolah-olah terlihat sedikit lebih manusiawi. Bahkan dalam upaya mencapai ‘tujuan pembangunan, ternyata strategi GFMD menghadapi keterbatasan yang serius yakni GFMD dan GCM sama-sama tidak memiliki mekanisme untuk bisa membuat para pemerintah bertanggung jawab atas kejahatan-kejahatan mereka terhadap migran.

Forum yang berpihak pada migran harus menggunakan pendekatan berbasis hak asasi manusia dengan melihat keseluruhan masalah migrasi dari perspektif migran itu sendiri yang paling dieksploitasi dan tertindas dalam fenomena ini. Pendekatan semacam ini mewujudkan pembangunan bagi kesejahteraan di tingkatan rakyat dan mengkritik seluruh sistem migrasi paksa yang telah melanggar hak-hak migran dan rakyat di negara-negara pengirim.

Forum-forum pro migran juga harus membahas akar penyebab migrasi paksa yang ada di negara-negara pengirim yakni keterbelakangan pembangunan, ekonomi yang dikontrol oleh banyak kekuatan asing dan segelintir elit, keterbelakangan system agraria, dan industri nasional yang lemah. Hanya dengan mengatasi akar masalah melalui suatu perubahan sosial yang mendasar, maka kita dapat membayangkan dunia tanpa migrasi paksa, di mana tidak ada anggota keluarga yang saling terpisah akibat kebutuhan untuk mencari kerja ke luar negeri.

Tuntutan ini mencakup kebutuhan jangka pendek dan jangka panjang para migran di seluruh dunia setelah pandemi Covid-19. Untuk memajukan dan meluaskan tuntutan ini, maka kami menyerukan:

Para migran, pengungsi, imigran, orang-orang tergusur dan kelompok pendukung untuk bersama-sama menyuarakan dan memperjuangkan tuntutan-tuntutan ini.
Organisasi migran, komunitas migran dan gerakan buruh yang ada untuk mendukung para migran dalam mewujudkan tuntutan ini.
Pemerintah, terutama mereka yang ada di bagian Utara Dunia (negara-negara maju), lembaga-lembaga nasional dan kelompok-kelompok internasional mereka untuk memenuhi tuntutan-tuntutan ini yang selaras dengan deklarasi, konvensi dan perjanjian internasional yang ada tentang hak-hak migran.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengeluarkan pernyataan tentang keadaan dan tuntutan para migran di dunia seperti pernyataan yang dikeluarkan untuk menyikapi masalah gencatan senjata, ketahanan pangan, perawatan kesehatan dan bidang-bidang lain yang terkait dengan pandemi. Sementara menanggapi tuntutan yang lebih genting ini, PBB harus meninggalkan cara pandang yang melihat migrasi sebagai strategi pembangunan. ###

Rujukan:

[1]
https://www.ilo.org/global/about-the-ilo/newsroom/news/WCMS_743036/lang--en/index.htm

[2] https://www.worldbank.org/en/news/press-release/2020/04/22/world-bank-predicts-sharpest-decline-of-remittances-in-recent-history

[3]
https://www.nytimes.com/2020/05/04/world/americas/coronavirus-migrants.html

[4]
https://www.bbc.com/news/world-middle-east-52655131
https://globalvoices.org/2020/05/20/stranded-nepali-migrant-workers-protest-to-return-home-nepali-government-drags-its-feet/

[5]
https://apnews.com/b1256a8375971daf0104aaab6aaf9eb9 https://www.stabroeknews.com/2020/05/27/news/guyana/returning-guyanese-can-pay-to-be-quarantined-at-two-hotels-ministry/ https://www.thejakartapost.com/news/2020/05/22/repatriated-indonesians-report-hunger-crowding-in-north-jakarta-quarantine.html https://economictimes.indiatimes.com/news/politics-and-nation/poor-conditions-of-quarantine-facilities-come-into-focus/articleshow/74738682.cms?from=mdr https://gulfnews.com/world/asia/pakistan/covid-19-lack-of-quarantine-and-testing-facilities-in-pakistan-hamper-repatriation-of-stranded-expatriates-in-uae-1.70927774

[6]
https://scroll.in/article/962804/at-least-23-million-migrants-are-returning-to-indias-villages-can-the-rural-economy-keep-up https://indianexpress.com/article/india/maharashtra-fights-over-quarantine-of-returning-migrants-becomes-a-headache-for-village-panchayats-6418113/

[7] https://www.theguardian.com/global-development/2020/mar/20/covid-19-lockdown-turns-qatars-largest-migrant-camp-into-virtual-prison https://www.economist.com/middle-east-and-africa/2020/04/23/migrant-workers-in-cramped-gulf-dorms-fear-infection
https://publications.iom.int/books/mrs-no-60-migrants-and-covid-19-pandemic-initial-analysis

[8]
https://www.newstatesman.com/world/asia/2020/05/how-singapores-second-wave-exposing-economic-inequalities

[9]
https://www.latimes.com/california/story/2020-05-14/large-workplaces-coronavirus-outbreaks-economy-reopens

[10]
https://www.msf.org/urgent-evacuation-squalid-camps-greece-needed-over-covid-19-fears

[11]
https://www.nytimes.com/2020/05/04/world/americas/coronavirus-migrants.html

[12]
https://news.un.org/en/story/2020/05/1063402

[13] https://www.coe.int/en/web/portal/-/commissioner-calls-for-release-of-immigration-detainees-during-covid-19-crisis

[14]
https://blogs.worldbank.org/voices/social-protection-migrants-during-covid-19-crisis-right-and-smart-choice

[15]
https://migrationdataportal.org/themes/migration-data-relevant-covid-19-pandemic https://radio.uchile.cl/2019/01/24/medicos-extranjeros-en-chile-pilar-en-la-atencion-publica-de-salud/

[16]
https://www.migrationpolicy.org/article/immigrant-health-care-workers-united-states#Trends_Projection https://www.ons.gov.uk/peoplepopulationandcommunity/populationandmigration/internationalmigration/articles/internationalmigrationandthehealthcareworkforce/2019-08-15

[17]
https://www.aljazeera.com/news/2020/05/families-health-workers-die-allowed-stay-uk-200520155807165.html https://www.theguardian.com/world/2020/may/21/johnson-forced-to-drop-nhs-surcharge-for-migrant-health-workers

[18] https://radio.uchile.cl/2020/03/24/brigada-migrante-de-salud-medicos-extranjeros-para-enfrentar-la-crisis-sanitaria/

[19]
https://www.migrationpolicy.org/article/covid19-immigrants-shut-out-federal-relief

[20]
https://metropolisjapan.com/covid-19-financial-relief/

[21]
https://gulfnews.com/photos/news/10-million-meals-volunteers-prepare-and-distribute-iftar-meals-1.1588093161575

[22]
https://www.khaleejtimes.com/coronavirus-outbreak/covid-19-in-uae-consulate-distributes-food-to-pakistanis-affected-by-coronavirus-impact https://www.khaleejtimes.com/coronavirus-pandemic/coronavirus-relief-indian-embassy-in-uae-distributes-1000-food-kits-to-people-affected-by-covid-19 https://www.khaleejtimes.com/coronavirus-pandemic/covid-19-impact-cash-aid-announced-for-filipino-expats-in-uae

[23]
https://www.thelancet.com/journals/lancet/article/PIIS0140-6736(20)30791-1/fulltext

[24]
https://www.hrw.org/news/2020/05/12/covid-19-fueling-anti-asian-racism-and-xenophobia-worldwide

[25]
https://newsus.cgtn.com/news/2020-05-20/Amid-COVID-19-pandemic-migration-crisis-along-U-S-Mexico-border-QD8VTvj8yI/index.html https://www.cbsnews.com/news/coronavirus-immigration-migrant-children-protections-border/

[26]
https://migranteinternational.org/2020/04/11/why-discriminate-and-exclude-other-affected-ofws-from-getting-dole-akap-php-10k-assistance-migrante-international/ https://newsinfo.inquirer.net/1269660/philhealth-rate-hikes-for-ofws-voluntary

Previous
Previous

Pernyataan Sikap Aliansi Migran InternasionalPada Peringatan Hari Migran Internasional18 Desember 2020